BERGANTUNG PADA ALLAH

26. BERGANTUNG KEPADA ALLAH

Memperingati Isra Mi’raj

Pada Tanggal 30 September 1965 terjadi pemberontakan dan kekejaman yang dilakukan oleh PKI, yang dimanifestasikan dalam  bentuk penganiayaan/ pembantaian terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat. Pembantaian tersebut dalam rangka melicinkan jalan menguasai Indonesia dan mengubah Pancasila dengan ideologi komunisme.

 Ada hal yang sangat menarik dari tragedi tersebut, termasuk pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, jika dilihat dari sudut keimanan. Menurut perhitungan akal dan matematis, cita- cita PKI mengubah ideologi Pancasila akan tercapai. Betapa tidak:

  1. Secara politis mereka punya kekuatan. Misalnya banyak sekali orang- orang PKI yang dekat dengan presiden, lebih kurang 15 orang menteri yang memegang jabatan penting dan strategis adalah dari PKI, Angkatan Laut dan udara sudah diselusupi orang- orang PKI
  2. PKI adalah salah satu partai terbesar di Indonesia
  3. Secara ekonomis, PKI adalah partai yang banyak mempunyai dana karena dibantu oleh donatur dari luar negeri, yang menyokong gerakan komunisme di Indonesia.
  4. Mobilisasi massa/ rakyat yang dilakukan PKI banyak mendapatkan sambutan. Misalanya peristiwa Bengkulu, usulan BTI dipersenjatai dan lain- lain

 Namun mengapa usaha PKI ini gagal total ? Semuanya sudah mereka persiapkan dengan matang, secara politis kuat, ekonomi kuat dan gerakan- gerakan sosial banyak memperoleh hasil. Ternyata satu hal yang mereka tidak punyai: Dukungan vertikal, yaitu Allah SWT.

 Apabila peristiwa pemberontakan PKI kita bandingkan dengan peristiwa Isra Mi’raj, maka kita akan memperoleh banyak pelajaran. Latar belakang peristiwa Isra Mi’raj adalah mandeknya perjuangan Nabi SAW, sehingga tahun tersebut dikenal dengan sebutan ‘amul huzni (tahun duka cita):

  1. Secara politis Nabi SAW kehilangan beking kuatnya, yaitu wafatnya Abu Thalib yang selalu melindungi Nabi SAW dari kekurang ajaran orang- orang Quraisy. Saat itu juga orang- orang kafir Quraisy semakin mengganas, sampai kepada usaha untuk menangkap/ membunuh Nabi SAW.
  2. Secara psichologis Nabi SAW kehilangan figur yang sangat dibanggakannya, yaitu wafatnya isteri Beliau, Siti Khadijah
  3. Umat Islam dikucilkan dan diembargo ekonomi oleh orang kafir Quraisy Makkah
  4. Perkembangan Islam saat itu benar- benar mengalami kemandekan/ jalan buntu, sehingga ummat Islam benar- benar menjadi pihak yang terpojok.

 Pada saat itu Nabi SAW dijatuhkan oleh manusia ke suatu titik terendah, dan di sana ia mengadu kepada Allah SWT: Ya Allah mau dibawa ke manakah hamba-Mu ini ! Ya Allah tolonglah hamba-Mu ini !

 Secara politis tidak memperoleh dukungan, secara ekonomis tidak mampu berbuat apa- apa. Demikian juga dukungan massa mengalami jalan buntu. Tapi mengapa perjuangan Nabi SAW akhirnya sukses ? Ia masih mempunyai beking dan dukungan utamanya: yaitu Allah SWT. Bahkan pada saat- saat genting ia diisra dan dimi’rajkan oleh-Nya sebagai bukti diangkatnya derajat beliau oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW adalah  cermin kita, ia adalah sosok manusia yang kuat bergantung kepada Allah SWT. Sehingga Allah SWT selalu menjaga dan menyelamatkannya. Allah SWT berfirman.

ولينصرن الله من ينصره  ان الله لقوي عزيز.  الحج: 40

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar- benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al- Hajj: 40)

 Allah adalah sumber dari segala kekuatan. Jika Allah menginginkan seseorang selamat, maka meskipun manusia se isi dunia berusaha untuk menjatuhkan dan mencelakakannya, maka ia pasti akan selamat. Demikian sebaliknya, jika Allah menakdirkan seseorang celaka, meskipun manusia seisi dunia berusaha menolongnya, pasti ia akan celaka juga. Manusia memang wajib berusaha, tapi tidak wajib berhasil. Karena ada kekuatan dari Yang Maha Kuat.

 Sebagai orang yang beriman, harus punya keyakinan, bahwa hanya Allah-lah yang menghidupkan dan mematikan, yang meninggikan dan merendahkan, yang memberikan manfaat dan madaharat. Selain Allah tidak ada yang kuasa melakukannya. Allah SWT berfirman.

قل لااملك لنفسي نفعاولاضراالاماشاء الله. الاعراف: 188

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah.” (QS. Al-A’raf; 188)

 Manusia- manusia yang tidak kuat bergantung kepada Allah jiwanya akan rapuh, hatinya akan resah. Apabila memperoleh keberhasilan akan muncul kesombongannya, karena menganggap bahwa kesuksesannya adalah semata- mata hasil usahanya. Apabila mengalami kegagalan, ia akan menjadi orang yang putus asa dan menganggap dirinya tidak ada gunanya.

 Di era modern seperti sekarang ini banyak orang yang sukses tapi tidak bahagia. Pangkat tinggi, uang banyak, harta melimpah tapi jiwanya selalu diliputi keresahan. Pangkat dan jabatan terus naik, tapi darahpun terus lkut naik. Bisnis sukses, dagangan maju, keuntungan berlipat ganda, tapi tamak, rakus dan kikirnya semakin menjadi- jadi. Rumah besar dan mewah, perlengkapan rumah tangga serba lux dan canggih, tapi justeru semakin tidak betah berada di rumah. Suami sibuk ke luar di luar jam kerja dengan alasan kerja lembur. Sementara isteri sibuk di luar dengan alasan arisan, padahal mencari pasaran.

 Seorang futurolog dari As, Alpin Tofler dalam bukunya Future Shock mengggambarkan, bahwa di era modern seperti sekarang ini banyak manusia yang bingung dan stres, karena sedang terjadi persaingan yang tajam dalam meraih materi, tetapi tidak diimbangi dengan aspek spiritual.

 Di dalam masyarakat sedang terjadi cultural shock atau kejutan- kejutan budaya. Tetangga beli mobil baru, dibuatnya kaget. Teman kerja di kantor ditaikkan pangkatnya, dibuatnya kita bingung. Atau mungkin kita diturunkan jabatannya, dibutnya kita stres. Ahirnya banyak orang yang mengambil jalan pintas, bunuh diri. Bahkan semakin banyaknya anggota masyarakat yang mengkonsumsi narkoba mengindikasikan semakin tingginya tingkat keresahan jiwa masyarakat.

 Di era modern banyak manusia yang menilai bahwa kepuasan, kesenangan dan kebahagiaan hidup terletak dalam keberhasilannya mengumpulkan materi. Entah itu uang, harta, pangkat, jabatan atau hal- hal yang berbau duniawi. Materi telah menjadi tujuan hidup manusia. Bahkan tidak jarang manusia yang menuhankan benda. Inilah gaya hidup materialistik, yang sebenarnya akan menjatuhkan nilai dan martabat manusia. Ini menjadi “trade mark” manusia di era globalisasi.

 Nabi SAW. pernah memberikan gambaran, akan datang suatu masa nasib umat Islam seperti buih di tengah- tengah lautan yang diombang ambingkan oleh gelombang. Lalu para sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apakah pada saat nanti itu umat Islam jumlahnya sedikit ?” Rasulullah menjawab :”Tidak, tetapi banyak. Namun pada saat nanti itu umat Islam terjangkit penyakit wahan.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apa itu penyakit wahan?” “Penyakit wahan adalah ‘Hubbuddunya wakarahiyatul maut’, Rakus dunia dan takut mati”. Agaknya hal ini sedang terjadi di tengah- tengah kita.

Islam tidak melarang umatnya menjadi orang kaya, Islam tidak melarang umatnya memiliki kekayaan yang banyak. Sebab kekayaan atau harta sangat diperlukan dalah kehidupan manusia. Manusia adalah manusia, adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Maka manusia sangat membutuhkan hal- hal yang bersifat jasmaniyah. Bahkan Islam menganjurkan agar umatnya memiliki banyak harta dan  sekaligus mengecam kemiskinan. Rasulullah bersabda:

كَاذَالْفَقْرُاَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا

“Kefakiran dapat menyebabkan kekufuran.”

 Sahabat Nabi SAW banyak orang kaya. Siti Khadijah, isteri Rasulullah adalah orang kaya, Abu Bakar, Umar, Utsman adalah para konglomerat. Bahkan Abdurrahman bin Auf adalah saudagar yang memiliki kekayaan yang sangat banyak. Rasulullah tidak melarang mereka, sebab kekayaan mereka dijadikan alat untuk membangun Islam. Karenanya yang dikecam dalam Islam adalah menjadikan harta atau meteri sebagai tujuan hidup manusia. Islam menganjurkan agar harta, pangkat dan jabatan dijadikan alat untuk berjuang di jalan Allah dan mengabdi kepada-Nya.

 

Maka mengapa di alam modern seperti sekarang ini semakin bayak manusia yang stres dan bungung ? Jawabannya sebenarnya sangat mudah. Di satu sisi manusia menganggap materi sebagai tuhan, mendewakan akal dan fikirannya dan di sisi lain manusia telah jauh dari Allah SWT. Mereka tidak lagi mempunyai sandaran vertikal, yaitu Allah SWT.

 

Maka hanya orang yang selalu dekat dengan Allah dengan segala pengabdiannya, kuat menggantungkan dirinya kepada Allah lalu mengoptimalkan ikhtiarnya, maka akan memperoleh kebahagiaan hidup, dalam situasi dan kondisi apapun. Allah SWT berfirman:

الذين امنواوتطمئن قلوبهم بذكرالله الابذكرالله تطمئن القلوب.  الرعد: 28

“Orang- orang yang beriman dan hatinya menjadi tenang karena mengingat (berdzikir) kepada Allah. Ingatlah bahwa mengingat Allah hati akan menjadi tenang.” (QS. Ar- Ra’d: 2swb8)

 

Dalam kesibukan kita sehari- hari yang menyita banyak waktu, tenaga dan fikiran, jangan lupa mengingat Allah. Dekatkanlah diri kita kepada-Nya agar kita memperoleh kebahagiaan hidup. Berjuanglah untuk agama Allah, pasti Allah akan menolong kita Waktu yang Allah berikan kepada kita sehari semalam adalah 24 jam. Hanya beberapa menit saja waktu yang dihabiskan untuk mendirikan shalat yang lima waktu, tapi mengapa masih saja banyak yang menghindar dari perintah ini. Allah menjanjikan keberuntungan bagi orang- orang yang selalu dekat dengan-Nya

فأماان كان من المقربين فروح وريحان وجنة نعيم.  الواقعة: 88-89

“Adapun orang- orang yang dekat kepada Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan/ ketentraman, rizki dan syurga yang penuh kenikmatan.” (QS. Al- Waqi’ah: 88- 89

 Apapun yang kita miliki, hakikatnya adalah milik Allah. Maka harta yang kita miliki, jabatan yang kita raih, pangkat yang kita peroleh bukanlah segala- galanya dan bukan sebagai tujuan hidup kita, tapi sebagai alat untuk beribadah kepada-Nya dan berjuang menegakkan agama-Nya. Di dalam hidup yang penuh pengabdian kepada-Nya, kita akan memperoleh pertolongan-Nya dan kebahagiaan hidup. Kita diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT.

وماخلقت الجن والإنس الاليعبدون. الذاريات: 56

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan un tuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

 

Ciuputat, 1996

Drs. H. Djedjen Zainuddin

Leave a comment