UNTUK APA MANUSIA BERIBADAH

37

UNTUK APA MANUSIA BERIBADAH

     Mari kita merenungkan tentang keberadaan diri kita di muka bumi ini. Sebenarnya untuk apa manusia itu diciptakan Allah SWT ? Allah SWT memberikan keterangan di dalam Al-Qur’an, bahwa inti diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, untuk beribadah kepada-Nya dan untuk berkhidmat di hadapan-Nya.

وماخلقت الجن والانس الاليعبدون. الذاريات: 56

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

     Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Karenanya yang wajib diibadati hanyalah Allah SWT. Kita tidak boleh tunduk dan beribadah kepada selain Allah SWT. Sebab semua yang ada selain Allah adalah makhluk-Nya. Maka sangat tidak pantas apabila makhluk Allah dijadikan sembahan oleh makhluk-Nya.

 Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan hati. Namun banyak manusia yang tidak tunduk kepada-Nya, karena hatinya masih dikuasai oleh sifat kesombongannya, disamping belum menyadari untuk apa dirinya beribadah kepada-Nya. Setiap hari harus shalat lima kali, dalam satu minggu wajib shalat Jum’at, setiap tahun turun kewajiban berpuasa selama satu bulan, belum kewajiban- kewajiban yang lainnya. Sungguh sangat berat beban yang harus dipikul oleh manusia. Untuk apa kita ini banyak beribadah ?

    Jika Allah memerintahkan kepada manusia agar menyembah kepada-Nya, sebenarnya perintah itu adalah untuk kepentingan dan kegunaan  manusia. Ibadah itu adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Allah sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan ibdah manusia. Jika seluruh manusia beribadah kepada-Nya, maka tidak akan menambah kebesaran Allah SWT. Juga seandainya seluruh manusia membangkang atas perintah-Nya, maka tidak akan menyebabkan berkurangnya keagungan Allah SWT. Allah SWT Maha Besar, Maha Agung karena diri-Nya sendiri, dan Ia tidak butuh bantuan kepada makhluk-Nya.

Allah SWT berfirman

من عمل صالحافلنفسه ومن اساءفعليهاوماربك بظلام للعبيد. الفصلت: 46

“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali- kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba- hamba-Nya.” (QS. Fushilat: 46)

 Yusuf Qardawi berpendapat, ada beberapa syarat agar perbuatan manusia bernilai ibadah:

  1. Perbuatan tersebut secara substansial tidak bertentangan dengan syariat Islam. Maka misalnya berjudi dengan niat untuk menyumbang ke masjid  tidak termasuk ibadah. Sebab walau bagaimanapun hasilnya berjudi itu  adalah perbuatan yang bertentangan atau dilarang oleh Islam. Contoh lain misalnya korupsi dengan niat untuk menunaikan ibadah haji. Ini pun tidak termasuk ibadah, sebab korupsi adalah perbuatan munkarat yang dilarang oleh agama. Jika itu tetap dilakukan, maka korupsinya berdosa dan hajinya insya Allah ditolak oleh Allah SWT.
  2. Dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas lillahi ta’ala. Niat selalu menjadi landasan dari semua peribadatan kita, dan niat selalu menjadi rukun ibadah. Shalat, puasa dan lain- lain tanpa diawali dengan niat, maka dalam pandangan agama hukumnya tidak sah. Demikian juga berbagai aktifitas kita sehari- hari seperti makan, minum, tidur dan lain- lain, baru akan bernilai ibadah apabila diniatkan lillahi ta’ala.
  3. Harus memperhatikan aturan- aturan Allah SWT dan tidak ada unsur- unsur kedzaliman, penghianatan dan penipuan. Misalnya; jual beli itu adalah ibadah. Tetapi apabila di dalamnya ada unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli,maka tidak lagi bernilai ibadah.
  4. Perbuatan- perbuatan atau kegiatan- kegiatan duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah tidak boleh menghalangi kewajiban- kewajiban agama. Misalnya bekerja mencari nafkah tidak boleh melalaikan kita untuk beribadah kepada Allah.

      Ada ibadah dimensi vertikal, yaitu ibadah yang langsung kepada Allah, dan ada ibadah dimensi horizontal, yaitu ibadah kepada Allah melalui perbuatan baik kepada manusia dan sesama makhluk Allah. Semua jenis ibadah ini manfaat dan hikmahnya untuk manusia.

 

Ibadah yang vertikal misalnya shalat fardhu. Bila dilaksanakan dengan baik maka akan melahirkan kesucian jiwa dan ketundukan hati yang tinggi kepada Allah SWT. Sehingga akan membentuk manusia yang selalu berupaya melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ini sebagai bukti firman Allah SWT:

ان الصلوةتنهى عن الفخشاءوالمنكر. العنكبوت: 45

“Sesungguhnya shalat itu  mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)

     Pada saat manusia sedang sujud, dengan merendahkan kepala, sambil mengagungkan asma Allah, maka akan terkikislah sifat keangkuhan dan kesombongan manusia. Manusia akan menyadari akan kelemahannya, manusia akan merasakan sebagai makhluk yang dha’if di hadapan Allah SWT, sehingga dengan shalat lahirlah manusia- manusia yang baik di dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Apabila shalat dilaksanakan dengan berjama’ah maka akan melahirkan kehidupan sosial yang kokoh, karena akan terbentuk rasa persaudaraan yang kuat. Bahkan shalat berjam’ah adalah sebaik- baik syi’ar Islam.

       Ibadah puasa yang secara lahiriyah menjadikan pelakunya haus dan lapar, tetapi dapat membentuk manusia- manusia yang tangguh, baik jasmani maupun rohaninya. Ibadah puasa dapat melahirkan manusia yang taat, sabar, ikhlas, jujur, peka/ peduli terhadap penderitaan orang lain, disiplin dan sehat. Sifat- sifat ini sangat dibutuhkan manusia baik bagi kehidupan individu maupun kehidupan kemasyarakatan. Kalau tidak ada perintah puasa, maka di dunia ini akan dipenuhi oleh manusia- manusia jahat, sombong dan bergelimang dengan kemunkaran sepanjang hayatnya. Hanya akan berkeliaran manusia- manusia yang hanya mengikuti selera dan hawa nafsunya saja. Sungguh ini sangat mencelakakan dirinya dan orang lain.

      Demikian pula dengan ibadah haji, berat dilaksanakannya dan besar biayanya. Tetapi dampaknya sangat luar biasa bagi manusia, misalnya akan tercipta ukhuwah dan solidaritas umat Islam sedunia. Bahkan  ibadah haji sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan sikap manusia. Ibadah haji dilaksanakan hanya beberapa hari saja, tapi setiap orang yang menunaikan ibadah ini sikap dan perilakunya berubah menjadi manusia yang lebih baik. Sehingga ada yang berpendapat tidak ada ibadah yang lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan perilaku seseorang daripada ibadah haji.

      Demikian pula ibadah yang tersalurkan melalui perbuatan baik atau amal shaleh terhadap sesama, dampaknya langsung dapat dirasakan oleh manusia. Misalnya memberikan pertolongan kepada manusia, maka pertolongan itu adalah suatu ibadah yang langsung manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang ditolong. Allah SWT berfirman:

وتعاونواعلى البروالتقوى ولاتعاونواعلى الاثم والعدوان.  المائدة: 2

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan tqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maidah: 2)

      Mencegah perbuatan munkar adalah juga termasuk ibadah yang dampaknya langsung dirasakan oleh manusia, yaitu terciptanya masyarakat yang baik yang selalu berada di jalan yang benar. Di dalam kehidupan masyarakat selalu ada tanggung jawab sosial bagi tiap- tiap individu. Sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa kehidupan masyarakat itu bagaikan para penumpang kapal, yang setiap penumpang harus menjaga untuk tidak merusak kapal. Sebab apabila salah seorang misalnya membocorkan kapal, maka bukan saja yang membocorkan akan celaka, tetapi seluruh penumpang kapal bisa tenggelam. Ini adalah tanggung jawab bersama dalam menyelamatkan kapal, dalam hal ini kehidupan bersama.

      Dalam suatu perjalan Nabi Musa mengadu kepada Allah: “Ya Allah, mengapa jika sebagian kecil penduduk negeri berbuat munkar, tetapi seluruh kaum Kau hancurkan ? Ini sungguh tidak adil Ya Allah !” Keluhan Nabi Musa tidak dijawab oleh Allah, dan Nabi Musa pun melanjutkan perjalannya. Di tengah perjalanan ia lelah dan beristirahat di bawah pohon kurma, sampai ahirnya terlelap tidur. Pada saat tidur ia digigit semut hitam sampai ahirnya terbangun. Maka dibunuhnya semut itu, dan karena gemasnya bukan saja semut yang menggigit ia bunuh tetapi ia obrak abrik sarang semutnya. Pada saat itu Musa mendapat teguran dari Allah: “Wahai Musa, mengapa satu ekor semut menggigitmu tetapi sarangnya kau hancurkan ?” Nabi Musa baru sadar atas kelancangan dan kesalahannya, lalu ia bertobat.

      Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa bila sebagian anggota masyarakat berbuat munkar lalu yang lainnya tidak mengubah atau memperbaikinya, maka akibatnya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Rasulullah SAW bersabda:

اذارأواالمنكرفلم يغيروه عمهم الله عذابه

“Apabila engkau melihat kemunkaran lalu tidak mengubahnya maka Allah ratakan adzabnya kepada mereka”

     Maka ibadah kepada Allah dalam bentuk amal shalih, amar ma’ruf dan nahi munkar harus ditegakkan oleh manusia agar kehidupan manusia menjadi baik.

     Sebagaimana digambarkan di atas, bahwa seluruh dimensi  ibadah, seluruhnya adalah untuk kemaslahatan manusia. Pada ujung QS. Fushilat: 46 Allah SWT menegaskan “Dan sekali- kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba- Nya” Seluruh perintah dan larangan Allah SWT sudah Ia sesuaikan dengan kemampuan dan kodrat manusia. Allah SWT berfirman:

لايكلف الله نفساالاوسعهالهاماكسبت وعليهامااكتسبت. البقرة: 286

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

 7 S yang dapat menyelamatkan manusia:

  1. Syahadatain, menyelamatkan manusia dari syirik dan bid’ah
  2. Shalat, mmd perbuatan keji dan munkar
  3. Shaum/ puasa, membentuk manusia yang taqwa dan mmd kehinaan
  4. Shadaqah/ zakat, mmd kefakiran dan mengikis sifat kikir
  5. Shilaturrahim, mmd permusuhan
  6. Syukur, mmd kesombongan
  7. Sabar, mmd sifat putus asa

     Maka menolak untuk ibadah kepada Allah SWT sebenarnya adalah kebodohan manusia,  yang akan  menyebabkan  kerugian  baik di dunia  maupun akhirat, baik kerugian individu maupun kerugian kolektif. Karenanya ibadah itu jangan karena kita takut dosa atau mengejar pahala, tetapi hanya semata- mata mencari keridhaan Allah SWT. Kita beribadah kepada-Nya bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi kita butuh kepada ibadah.

    Ciputat, 1997

 

Leave a comment