ISRO MI’RAJ

 

31. ISRA MI’RAJ

DAN TIGA KELOMPOK MANUSIA

Pada saat belum ada teknologi kedirgantaraan, atau bahkan teknologi canggih luar angkasa seperti Soyut, Apollo, Discovery, atau Challengger yang meledak, Rasulullah SAW telah melakukan perjalanan ke angkasa menembus kawasan samawi. Missi ulang aliknya ditempuh hanya dalam tempo waktu 2/3 malam saja. Padahal Rasulullah menembus tujuh lapis langit hingga Shidratil Muntaha dan Mustawan. Menurut perhitungan, jarak tempuh bumi- langit ke tujuh adalah 40 milyar tahun cahaya (kecepatan cahaya menurut teori Albert Einstein adalah 300.000 km/ detik). Jika bolak balik bumi- langit ke tujuh dengan menaiki kendaraan yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya (sampai hari ini belum ada) maka akan sampai kembali ke bumi setelah menembus waktu 80 milyar tahun. Tapi untuk Rasulullah SAW cukup hanya 2/3 malam saja. Subhanallah.

 

Keesokan harinya Rasulullah bermaksud menceritakan pengalaman yang menakjubkan itu kepada kaum muslimin Makkah. Ketika Rasulullah berada di Masjidil Haram, tiba- tiba datang Abu Jahal, dan bertanya kepadanya: “Hai Muhammad, apa yang sedang engkau pikirkan. Adakah sesuatu yang baru bagimu ?” “Ya, ada. Tadi malam aku pergi ke Baitil Maqdis di Yerussalem.” Jawab Rasulullah. “Muhammad, ucapanmu itu ngawur. Aku tidak percaya apa yang kau katakan. Aku lihat tadi malam englau berada di Bathim (dekat ka’bah). Lalu berita bohog itukah yang akan engkau sampaikan kepada umatmu ?” “Ya, berita benar inilah yang akan aku sampaikan kepada umatku.”

Maka berkumpullah kaum muslimin dan orang- orang Quraisy untuk mendengarkan  pengalaman Isra Mi’raj Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah bercerita, ternyata saat itu umat manusia terbagi kepada tiga kelompok:

Pertama kelompok yang mendustakan apa yang disampaikan Rasulullah. Kelompok ini dipelopori oleh Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dll. Mereka mengatakan bahwa Muhammad pendusta, gila, dan kurang waras akalnya.

Kedua, kelompok yang merasa ragu akan ucapan Rasulullah SAW. Jika dikatakan dusta, selama ini Muhammad tidak pernah dusta. Jika dibenarkan, tidak ada bukti yang masuk akal. Maka Mu’thim bin Ady, orang yang termasuk kelompok ini segera datang kepada Rasulullah, lalu berkata: “Muhammad, benarkan engkau tadi malam telah melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis ?” “Ya” jawab Rasulullah. “Aku akan percaya kalau engkau sanggup memberikan bukti- bukti yang masuk akal”. “Lalu apa maumu ?” tanya Rasulullah. “Angkatlah kaki kananmu wahai Muhammad.” Rasulullah mengangkat kaki kanannya. “Lalu angkat satu lagi kaki kirimu” Rasulullah tidak melakukannya. “Nah, mengangkat dua kaki saja tidak sanggup, bagaimana mungkin engkau dapat terbang ke Baitul Maqdis. Sungguh tidak masuk akal. Ini pasti dusta.” Maka Mu’thi segera meninggalkan Rasulullah seraya mendustakan ucapannya.

Ketiga, kelompok yang membenarkan ucapan Rasulullah SAW, sami’na waatha’na. Kelompok ini dipelopori oleh Abu bakar. Pada saat umat sedang bingung, Abu Bakar tampil ke depan lalu berkata: “Ketahuilah oleh kalian, saya angkat saksi, bahwa Rasulullah itu benar. Apa yang dirahmatkan  Allah kepadanya pasti terjadi dengan tidak ada kesulitan sedikitpun.”

Atas pernyataan Abu Bakar itu Rasulullah bersabda: “Engkau wahai Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq (benar)”. Maka sejak peristiwa itu, Abu Bakar namanya ditambah Ash-Shiddiq. Gelar kehormatan yang diberikan Rasulullah karena membenarkan peristiwa Isra Mi’raj pada saat ummat manusia sedang bingung.

Tiga kelompok di atas merupakan gambaran mikro sikap umat manusia kepada Islam sejak turunnya hingga ahir zaman nanti.

Kelompok Abu Jahal modern adalah mereka yang menganggap Islam sebagai musuhnya. Mereka berupaya membendung dan menghancurkan perkembangan Islam serta menyingkirkan dominsasinya dalam masyarakat dan negara. Usaha ke arah deIslamisasi ini dilakukan karena adanya rasa kecurigaan dan ketakutan pengaruh perkembangan Islam yang kian meluas. Atau adanya rasa takut di sementara fihak akan ajaran Islam yang memperjuangkan kaidah- kaidah kebenaran  di dalam kehidupan masyarakat. Bisa pula karena adanya kehawatiran secara politis, apabila Islam berkembang secara pesat akan merugikan pihaknya. Seperti Amerika Serikat dan negara- negara barat pada umumnya, selalu berstandard ganda terhadap perjuangan umat Islam. Misalnya seperti kiprahnya terhadap upaya perdamaian di Timur Tengah yang menyeluruh dan komprehensif. Bahkan Samuel Huntington dengan congkak mengatakan: “Setelah Komunis runtuh, maka musuh yang nyata bagi barat adalah Islam”

Kaum orientalis yang menganggap dirinya sebagai ilmuan yang paling obyektif dalam memberikan nilai, tetapi kalau memberikan penilaian tentang Islam, tidak lagi menjadi ilmuan yang obyektif. Hal ini muncul karena beberapa faktor: Pertama, sebelumnya telah menaruh rasa benci dan curiga terhadap Islam. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al- Qur’an:

 “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang- orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti- hentinya (menimbulkan) kemadharatan bagimu. Merka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat- ayat (Kami) jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran; 118)

Kedua, tidak banyak memahami hukum- hukum Islam dan segala hikmahnya. Ketiga, melihat Islam dengan kacamata non Islam. Keempat, pada hakikatnya mereka tidak rela menerima kebenaran Islam.

ولن ترضى عنك اليهودولا النصارى حتى تتبع ملتهم. البقرة: 120

“Orang- orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al- Baqarah: 120)

Kelompok Mu’thim bin Ady juga semakin bermunculan dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi. Bahkan manusia  menganggap bahwa agama adalah urusan akal semata. Jika tidak masuk akal maka berarti bukan agama. Kesimpulan ini sangat keliru, sebagai akibat dari kesalahan menginterpretasikan kata “aqal”. Akal itu tidak sama dengan rasio. Sebab akal mengandung variabel- variabel yang tidak nampak termasuk di dalamnya nalar, benak, hati, rasa, sukma dan sebagainya. Jika Agama hanya diterima dengan pendekatan rasio, maka akan menjadi kering dan gersang serta banyak bagian- bagian agama yang kita tinggalkan. Sebab ada ajaran agama yang bersifat dogmatis, yang hanya bisa diterima dengan iman. Misalnya Allah menjadikan Ibrahim AS tidak terbakar api, padahal api mempunyai sifat membakar. Allah menciptakan nabi Isa AS tanpa dibuahi sperma laki- laki. Padahal menurut teori kedokteran modern manapun akan mengatakan bahwa terjadinya pembuahan dalam rahim wanita apabila bertemunya ovum dengan sperma. Juga bagaimana Allah memperjalankan Nabi Muhammad SAW dari Makkah sampai Shidratil Muntaha hanya dua pertiga malam saja. Padahal Apollo 11 yang mendarat di bulan tahun 1969 terlebih dahulu harus melakukan perjalanan berhari- hari. Maka peristiwa- peristiwa yang menakjubkan di atas sulit kalau harus diterima dengan rasio. Maka imanlah yang harus tampil ke depan. Tapi kelompok Mu’thim ini terus saja berupaya menginterpretasikan ajaran agama agar rasional, termasuk masalah mu’jizat dan hakikat Allah SWT. Kita saksikan saat ini semakin banyaknya kaum liberal Islam yang kebablasan, yang berupaya menginterpretasikan ajaran Islam secara bebas, sehingga sering lepas akarnya, yaitu Al- Qur’an dan Al- Hadits.

Manusia telah sampai kepada puncak kesombongannya dalam mendewa- dewakan akalnya. Manusia ingin mengetahui hakikat Allah SWT, padahal Allah adalah Dzat yang tidak terbatas, sedangkan manusia  adalah dzat yang sangat terbatas, baik terbatas kemampuannya, fisiknya, maupun ilmunya. Allah adalah Dzat yang Maha Besar, sedangkan manusia adalah makhluk yang sangat kecil dan dhaif yang terselip diantara kebesaran ciptaan Allah. Karenanya manusia tidak akan sanggup memahami Dzat Allah, bahkan untuk memahami dirinya saja tidak sanggup. Akibatnya banyak manusia yang tersesat oleh kesombongannya. Di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 190-191 ditegaskan bahwa manusia yang berakal (ulul albab) adalah yang dapat menggandengkan/ menserasikan antara dzikir dan fikir.

 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda- tanda bagi orang- orang yang berakal, (yaitu) orang- orang yang MENGINGAT Allah sambil berdiri dan duduk serta dalam keadaan berbaring, dan mereka MEMIKIRKAN tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” ( QS. Ali Imran: 190-191)

Maka kelompok Abu Bakar- lah yang telah mampu menggandengkan antara dzikir dan fikir, antara rasa dan rasio, antara akal dan imannya. Abu Bakar menerima dan membenarkan perkataan Nabi SAW  bukan tanpa alasan. Pertama ia yakin bahwa agama adalah mutlak kebenarannya. Kedua Rasulullah adalah orang amanah, selalu benar dalam ucapan dan perbuatan, ia tidak pernah dusta kepada siapapun. Ketiga dalam hal perjalanan Isra, Muhammad SAW mampu menggambarkan dengan benar kondisi masjidil Aqsha.

Manusia- manusia kelompok Abu bakar adalah manusia beriman yang telah mampu melihat sesuatu tidak hanya dengan mata kepalanya tetapi juga melihat dengan mata hatinya. Sehingga tidak akan terperdaya oleh silau dan gemerlapnya duniawi, yang terkadang seperti fatamorgana.

Sampai hari ini, bahkan sampai kapanpun Isra Mi’raj tidak akan terpecahkan oleh rasio manusia. Namun peristiwa Isra Mi’raj telah banyak memberikan pelajaran dan peringatan bagi manusia. Diantaranya adalah bahwa  Isra Mi’raj merupakan ujian bagi keimanan kita. Percaya atau tidak. Iman kita benar- benar diuji.

Mari, peristiwa isra dan mi’raj ini kita jadikan sebagai tonggak untuk mengintrospeksi diri, siapa diri kita, dan sekaligus berupaya untuk lebih meneguhkan keimanan kita kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar, amin.

Ciputat, 1996

Djedjen Zainuddin

Leave a comment